Latar
belakang
Indonesia
adalah negara demokrasi yang dibangun berdasarkan pancasila. sejak awal mula
sukarno pada masa orde lama kemudian dilanjuti orde baru dan reformasi. saat
ini kepemimpinan reformasi yang dimulai dari tahun 1998 menjadikan demokrasi
menjadi hidup di Negara ini, dimana sebelumnya demokrasi dikekang pada masa
rezim orede baru yang membuat orang tidak berani mengeluarkan pendapatnya serta
memenjarakan politikus politikus yang berseberangan terhadap pemerintah saat
itu. Berjalannya demokrasi saat ini menjadikan system pemerintahan yang
transparan walaupun belum bisa diharapkan seratus persen namun hal ini bukanlah
menjadi sebuah jalan keluar yang baru, karena dengan terbangunnya system
demokrasi Indonesia membuat setiap kalangan bisa berunjuk rasa dan menunjukan
sikap atas ketidaksetujuan terhadap kebijakan yang di buat pemerintah. system
yang baru menjadikan jalan keluar bagi system yang lama akan tetapi
menghasilkan masalah yang baru juga.
Ketidakstabilan
politik mempengaruhi pertumbuhan perekeonomian bangsa. dimana para investor
asing selalu berpikir dua kali walaupun Indonesia merupakan prospek yangn
menjanjikan bagi bisnis karena banyaknya sumber daya alam dan sumber daya
manusia baik sebagai pekerja maupun konsumen terhadap bisnis yang dijalankan akan
tetapi karena ketidakstabilan ini membuat para investor berpikir dua kali untuk
menanamkan investasinya. stabilitas politik menentukan birokrasi yang
dijalankan dan ketetapan yang dibuat, hal ini harus menjadi perhatian khusus
bagi pemerintah sendiri. tidak bisa dipungkiri bahwa rasa was was terhadap
perilaku politik saat ini seperti masalah yang baru baru ini terjadi yakni
century dan terorisme. century menjadi masalah internal bagi pemerintahan atas
kebijakan bail-out dan menjadi perhatian tersendiri bagi para ekonom. dimana
ada perbedaan pendapat terhadap kebijakan ini sehingga terjadinya chaos apa
yang menjadi tindakan selanjutnya.
pembentukan pansus century serta hasil voting DPR terhadap opsi A dan opsi C yang mana dimenangkan opsi C dimana para koalisi demokrat menjadi oposisi terhadap voting DPR antara opsi A dan opsi C. apabila terjadi reshuffle pemerintahan akibat dari koalisi yang membelot ini bisa dipastikan kekhawatiran terhadap ekonomi sendiri, walaupun banyak para ahli mengatakan bahwa kasus ini tidak mempengaruhi perekonomian, tapi kalau kita berpikir lebih Jauh lagi dampak kasus ini bisa berakibat fatal terhadap perekonomian itu sendiri.
pembentukan pansus century serta hasil voting DPR terhadap opsi A dan opsi C yang mana dimenangkan opsi C dimana para koalisi demokrat menjadi oposisi terhadap voting DPR antara opsi A dan opsi C. apabila terjadi reshuffle pemerintahan akibat dari koalisi yang membelot ini bisa dipastikan kekhawatiran terhadap ekonomi sendiri, walaupun banyak para ahli mengatakan bahwa kasus ini tidak mempengaruhi perekonomian, tapi kalau kita berpikir lebih Jauh lagi dampak kasus ini bisa berakibat fatal terhadap perekonomian itu sendiri.
Pembahasan
ORDE BARU
Orde Baru mewarisi
kondisi ekonomi yang buruk dari Orde Lama, hal ini dapat dilihat pada sejumlah
data sebagai berikut cadangan devisa menciut sampai nol(pada 1965), inflasi
meningkat sampai 650% (pada 1966), daerah pedesaan Jawa tergolong sangat miskin. Fokus di awal pemerintahan ialah menyelamatkan
perekonomian nasional. Masa Orde Baru untuk kemudian menyusun blue
print pembangunan melaui pembangunan lima tahun dan Pembangunan jangka
panjang (25 tahun). Kalangan teknokrat yang dipimpin Widjojo Nitisastro memberikan
landasan ilmiah dan merancang bangun perekonomian nasional.
Orde Baru menggunakan konsep stabilisasi politik dan pembangunan
ekonomi. Konsep tersebut berimbas langsung pada bisnis dan politik. Pembangunan
ekonomi yang dikembangkan mengandalkan pada pertumbuhan ekonomi, sedangkan
stabilisasi politik berupa penguatan Negara dari segala bentuk oposisi.
Pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada Orde Baru menurut Perkins tak bisa
dilepaskan dari bias delusi yang dilakukan pihak barat untuk menopang keuntungan
sejumlah korporat. Pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan
pada konglomerasi secara kritis dimaknai sebagai ersatz kapitalisme oleh
Yoshihara Kunio.
Kapitalisme ersatz berarti bukan
kapitalisme yang tulen. Ada dua hal yang menyebabkan kapitalisme menjadi ersatz;
pertama campur tangan pemerintah terlalu banyak sehingga mengganggu prinsip
persaingan bebas dan membuat kapitalisme menjadi tidak dinamis, kedua
kapitalisme di Asia Tenggara tidak didasarkan perkembangan teknologi yang
memadai.
Kapitalisme Asia
Tenggara (termasuk Indonesia) disebut semu karena ia didominasi oleh para
pemburu rente (rent seekers).Bersifat semu dikarenakan didominasi oleh
kaum kapitalis Cina. Sebenarnya, terdapat jenis- jenis kapitalis yang janggal
seperti kapitalis konco dan kapitalis birokrat. Di samping itu, ada pemimpin-
pemimpin politik, anak- anak dan sanak keluarga mereka, dan keluarga keraton
terlibat dalam bisnis. Apa yang mereka buru bukan hanya proteksi terhadap
kompetisi asing, tetapi juga konsesi, lisensi,hak monopoli, dan subsidi
pemerintah ( dalam bentuk pinjaman berbunga rendah dari lembaga- lembaga
keuangan pemerintah). Sebagai akibatnya, telah tumbuh dengan subur segala macam
penyelewengan.
Kapitalisme yang tumbuh
berupa konglomerat yang dimanjakan dan dibesarkan oleh Negara. Negara dan
pemerintah di era tersebut teramat menentukan dalam bidang ekonomi dan politik.
Liddle bahkan menyebutkannya dengan Soeharto deterministik. Suatu istilah yang tidak
berlebihan mengingat kalangan konglomerat yang tumbuh berkembang memperoleh
rente dari kedekatannya dengan penghuni Cendana ini. Dalam buku Kunio
dijelaskan di bagian lampiran mengenai profil singkat konglomerat yang tumbuh
dari rahim penguasa seperti Sukamdani Sahid, Probosutedjo, Sudwikatmono,
putera- puteri presiden, Ciputra, Bob Hasan, Sudono Salim, dan sebagainya.
Berkaitan dengan campur
tangan pemerintah yang terlalu banyak dapat dilihat pada kasus mobil nasional
pada tahun 1996. Campur tangan berlebihan dapat dilihat pada pembebasan bea
berupa pajak barang mewah 35 %, PT Timor Putra Nasional (pemiliknya Tommy
Soeharto) menjadi satu satunya perusahaan yang mendapat keistimewaan mobil
nasional. Penyikapan seperti inilah yang menjadi potret
dari pola hubungan bisnis- politik di era Orde Baru. Peraturan disesuaikan agar
menguntungkan bagi kongsi yang sealiran dengan pemerintahan. Harapan melihat
munculnya kelas menengah dan kalangan kapitalis tulen tereduksi secara serius.
Kalangan kapitalis justru menjadi penikmat status quo dikarenakan pemburuan
rente yang dilakukan, sehingga menjelaskan stabilisasi politik yang terjadi
dengan merangkul kekuatan modal ke dalam pilar penyangga kekuasaan.
Berkaitan dengan
perkembangan teknologi yang memadai. Arah kebijakan teknologi Indonesia yang
mengarah pada tingkat tinggi berupa pembuatan pesawat terbang, helikopter,
namun abai terhadap teknologi pertanian, tekstil- menimbulkan ambivalensi
ekonomi. Di satu sisi Indonesia terlihat maju dengan membangun industri dalam
skalahigh cost, yang memerlukan keahlian tinggi dan modal besar; namun
di sisi lain teknologi fundamental dan merakyat serta menyangga perekonomian
bangsa tidak berkembang dengan optimal.
Orde Baru dalam
kaitannya dengan korporat asing juga menerapkan pola rente. Pembangunan
infrastrukur, pertambangan, listrik, dan teknologi tinggi lainnya membawa
pemodal asing masuk ke Indonesia. Kontrak jangka panjang (seperti Kontrak Karya
Pembangunan Freeport), dikarenakan besarnya modal dan diharapkan dapat terjadi
alih teknologi di kemudian hari. Korporat asing di Orde baru pun menikmati pola
bisnis- politik yang diterapkan. Model kolusi memungkinkan bagi pengabaian
aspek lingkungan, corporate social responsibility, dan rendahnya
upah buruh sebagai keunggulan komparatif Indonesia.
Masa Reformasi
Masa reformasi
menggenggam harapan bagi perbaikan Indonesia ke depannya dibanding era
pendahulunya. Namun harapan terkadang bersebrangan dengan kenyataan. Melihat
masa reformasi konsep korporatokrasi yang digagas John Perkins layak untuk
diutarakan sebagai analisa. Korporatokrasi menunjukkan bahwa dalam rangka
membangun imperium global, maka berbagai korporasi besar, bank, dan
pemerintahan bergabung menyatukan kekuatan finansial dan politiknya untuk
memaksa masyarakat dunia mengikuti kehendak mereka.
Meredupnya peran Negara
dikarenakan sorotan publik yang begitu besar dan arus tuntutan reformasi yang
menghendaki pembagian kekuasaan. Pemerintah yang berkuasa sepanjang era
Reformasi merupakan aliansi koalisi sehingga dalam menjalankan kekuasaannya
tidak bisa serta merta apa yang diinginkan itu yang dilakukan.Masa Habibie(era
transisi-dengan dukungan dari Golkar & militer) Masa Abdurahman Wahid
(poros tengah- kalangan partai Islam), Masa Megawati (PDIP ) Masa Susilo
Bambang Yudhoyono (koalisi besar ;Demokrat-7,45% suara nasional, Golkar, PKS, PBB), memperlihatkan bagaimana pemerintah harus
melakukan kompromi dalam menjalankan roda kekuasaannya.
Masa Reformasi memperlihatkan bagaimana kepentingan bisnis mampu
mempengaruhi domain politik. Konglomerat yang dibesarkan oleh Orde
Baru, tumbuh sendiri, ataupun korporat besar asing mampu mempengaruhi
pemerintah yang memerlukan pilar ekonomi untuk menunjang kepemimpinannya. Peraturan ini
memberi aturan legal bagi perusahaan asing untuk menguasai sendi- sendi vital
bangsa.
Korporatokrasi ini jika
ditilik dari bisnis dan politik merupakan konsep destruktif bagi keduanya. Dari
sisi bisnis, korporat raksasa dengan bantuan economic hit man akan
membuat ekuilibrium bisnis semakin timpang. Korporat- korporat besar akan
semakin mengglobal dan menghegemonik dalam penguasaan modal, di samping itu
ciri kapitalisme sejati berupa persaingan bebas tidak terjadi lagi. Dari sisi
politik , kedaulatan pemerintah akan dipertanyakan, ataukah sekedar komprador
korporat besar.
Menilik pola hubungan
bisnis dan politik pada era Orde Baru dan masa Reformasi maka kita belum
melihat tertujunya pola menuju kesejahteraan bersama. Kemakmuran hanya
dinikmati segelintir saja dan gagal terdistribusi ke masyarakat secara
keseluruhan. Masa reformasi terlebih menjelang pemilihan presiden memiliki
momentum politik untuk melakukan sejumlah perbaikan dalam melihat pola bisnis-
politik. Alternatif ekonomi kerakyatan, jalan ketiga Giddens, ekonomi syariah,
merupakan sekian opsi yang tersedia untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih
baik.
Praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di Indonesia
tergolong cukup tinggi. Padahal cita–cita didirikannya negara Indonesia,
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah mencapai
masyarakat adil dan makmur. Salah satu komponen untuk mewujudkan cita-cita
tersebut adalah penyelenggaraan negara yang efisien, efektif, dan bersih dan
praktek-praktek yang merugikan kepentingan negara dan bangsa. Penyelenggaraan
negara dapat terlaksana apabila aparatur negara termasuk aparatur pemerintah di
dalamnya dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik, profesional,
transparan, akuntabel, taat pada aturan hukum, responsif dan proaktif, serta
mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, dan bukan mengutamakan kepentingan
pribadi, kelompok atau partai yang berkuasa dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya. Kondisi yang dijumpai selama ini, ternyata berbeda dengan harapan.
Selama tiga dekade terakhir, telah terjadi pemusatan kekuasaan, wewenang, dan
tanggungjawab pada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
dalam penyelenggaraan negara. Akibatnya, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-Lembaga
Tinggi Negara lainnya tidak dapat berfungsi dengan baik, dan partisipasi
masyarakat dalam memberikan kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara tidak dapat berkembang. Akibat lainnya, kegiatan penyelenggaraan
negara cenderung mengarah pada praktek-praktek yang lebih menguntungkan
kelompok tertentu yang pada akhirnya menyuburkan praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN) yang melibatkan para pejabat negara dengan para pengusaha
sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek
kehidupan nasional.
Berbagai
praktek yang membuat penyelenggaraan negara menjadi tidak efisien dan efektif
dan menyuburkan praktek KKN antara lain:
(1) dominasi partai yang
berkuasa dalam lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif yang akhirnya
menghambat pelaksanaan fungsi lembaga-lembaga tersebut.
(2) badan-badan peradilan
baik organisasi, keuangan, dan sumber daya manusianya berada dibawah lembaga
eksekutif, sehingga menghambat penegakan hukum secara adil dan obyektif.
(3) moonoloyalitas
pegawai negeri dan Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) kepada partai yang
berkuasa yang pada akhirnya membuat aparatur pemerintah cenderung mendahulukan
kepentingan kelompok dari pada kepentingan bangsa dan negara baik dalam
pengambilan kebijaksanaan maupun dalam pelaksanaannya.
(4) terlalu besarnya
kewenangan pemerintah pusat dan terlalu kecilnya kewenangan pemerintah daerah
untuk mengurus rumah tangganya sendiri mendorong timbulnya ketidakpuasan dan
menghambat partisipasi masyarakat daerah dalam pembangunan di berbagai daerah.
Kurang berfungsinya lembaga-lembaga tersebut di atas, dianggap
sebagai salah satu faktor penyebab meluas dan semakin parahnya krisis moneter
dan ekonomi dalam dua tahun terakhir ini yang telah berkembang dan
mengakibatkan gejolak sosial dan politik yang ditandai dengan rusaknya tatanan
ekonomi dan keuangan, pengangguran yang meluas, serta kemiskinan yang menjurus
pada ketidakberdayaan masyarakat dan kurangnya kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah termasuk aparatur pemerintahan di pusat dan daerah. Hal ini tidak saja
merugikan negara dan masyarakat secara materi tetapi juga secara sosial dan
budaya.
Hubungan bisnis politik dengan dunia global
Pemerintah bekerjasama dengan bisnis. Pemerintah menjaring bekerja sama dengan
perusahaan untuk membangun hubungan kooperatif dan tujuan yang saling
menguntungkan. Dasar dari kerjasama ini terletak pada inti nilai-nilai
sosial bangsa dan adat istiadat. bekerja secara bersama-sama sebagai sebuah
keluarga mengarahkan dua kekuatan ini untuk menghasilkan keuntungan bagi masyarakat
dan perusahaan.
Namun disisi
lain bisnis politik juga mengalami konflik. Dalam kondisi tujuan pemerintah dan
tujuan bisnis yang tidak lagi sejalan, akan mengakibatkan pertentangan. Setelah
terjadi skandal Enron, sebagai salah satu bentuk kegagalan dari industri
pengauditan, badan pengawas pasar modal dan sekuritas Amerika (SEC) menerbitkan
Sarbanes-Oxley Act pada tahun 2003. Aturan ini membatasi kemampuan kantor
akuntan publik untuk menawarkan jasa konsultasi dan pengauditan kepada
kliennya. Pemerintah
mungkin bertentangan terhadap bisnis dalam eksternalitas negatif muncul.
Eksternalitas negatif, atau efek berlebih, disebabkan dalam manufaktur atau
pendistribusian produk meningkatkan biaya-biaya tidak terencana atau tidak
diinginkan (ekonomis, fisik atau psikologi) yang ditanggung oleh konsumen,
pesaing, komunitas dekat, atau satakeholder bisnis lainnya. Untuk mengendalikan
biaya-biaya tersebut, pemerintah bertindak mengatur tindakan bisnis.
Hubungan pemerintah dan bisnis dapat mencangkup dari salah satu kerja sama sampai dengan salah satu konflik, dengan berbagai tahap diantaranya. Akan tetapi, hubungan ini dapat berubah secara drastis. Hubungan kooperatif pada satu isu tidak menjamin adanya kerjasama pada isu lainnya. Hubungan pemerintah-bisnis merupakan hal yang perlu diperhatikan secara hati-hati oleh para manajer untuk diarahkan menjadi kekuatan yang dapat mendorong hubungan positif bisnis dan pemerintah.
Hubungan pemerintah dan bisnis dapat mencangkup dari salah satu kerja sama sampai dengan salah satu konflik, dengan berbagai tahap diantaranya. Akan tetapi, hubungan ini dapat berubah secara drastis. Hubungan kooperatif pada satu isu tidak menjamin adanya kerjasama pada isu lainnya. Hubungan pemerintah-bisnis merupakan hal yang perlu diperhatikan secara hati-hati oleh para manajer untuk diarahkan menjadi kekuatan yang dapat mendorong hubungan positif bisnis dan pemerintah.